Bukan hanya duka tetapi bencana,
Badai datang silih berganti tiada henti,
Air mataku terjun bebas di balut kepedihan,
Hatiku retak bagai gelas tak bernama.
Dunia seakan runtuh,
Berdiam diri di sudut bumi yang tenggelam,
Serasa kelam bagai mati di laut merah,
Berharap keajaiban rela datang merangkulku.
Sekawan manusia datang berbondong-bondong,
Menamparku dengan sebilah pisau,
Hujatan demi hujatan datang membangkitkanku,
Memberiku cahaya napas hidup kembali.
Jika ini mereka sebut kawan, tidak. Ini bahkan lebih,
Mereka rela membunuh waktu untuk lengkungan manis di wajahku,
Kasih mereka terlalu nyata,
Sampai aku tak sanggup sebut ini dusta.
Terngiang do'a mereka yang mengudara,
Tidak mungkin begitu saja aku menyerah bersama kegelapan,
Cinta mereka bagiku bagai semesta,
Sehancur apapun aku, mereka akan tetap mengitariku.
Bandung, 02 Juni 2016
Rara Febtarina
Puisi ini terinspirasi dari suasana pada saat aku berada di pemakaman ayahku. Kalimat itu aku pikir lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.
Kereeeeen
ReplyDeleteuhuy maacih ibu
Delete